Pages

Jumat, 15 Oktober 2010

Bank Grameen dan Prof. Muhammad Yunus

Pemenang Nobel Berbagi Kiat
Republik Indonesia punya banyak orang pintar,
baik itu mengenai sains juga masalah-masalah
sosial. Indonesia bisa memenangkan Olimpiade
Fisika, matematika atau banyak prestasi lain.
Selayaknya bangsa Indonesia juga bisa
memenangkan pertarungan yang lebih riil. Yakni
pencurahan perhatian sepenuhnya di bidang
ekonomi dan, mencari cara untuk mengusir jauh-
jauh kemiskinan. Dalam hal ini kita bisa belajar
dari Grameen Bank, untuk menghalau
kemiskinan.
Presdir Grameen Bank Muhammad Yunus
mengakui, memang banyak orang yang
kehilangan semangat memerangi korupsi dalam
negara yang korup. Dia mencontohkan negeri
asalnya, Bangladesh, yang merupakan negara
terkorup di dunia versi Transparency
International. Dari serangkaian diskusi
pemberantasan korupsi, banyak orang di
Bangladesh yang sudah menyerah sejak awal.
Namun, kata pemegang gelar 27 doktor
kehormatan ini, setelah mengelola Grameen Bank
selama 31 tahun, ternyata hanya sekitar satu
persen orang Bangladesh yang korup, yakni para
politikus dan pegawai pemerintah. "Sebagian
besar masyarakat Bangladesh orang jujur.
Sembilan puluh sembilan persen bekerja keras
untuk mengubah nasibnya," katanya.
Peduli.
Yunus adalah pendekar pengentas masyarakat
dari kemiskinan dunia. Lewat Grameen Bank,
lembaga keuangan paling revolusioner dalam
sejarah perbankan dunia, ia memberikan kredit
ringan kepada orang miskin, termasuk pengemis
di Bangladesh, tanpa jaminan sama sekali.
Gagasan dan pola penyaluran kredit Grameen
Bank memberikan inspirasi bagi banyak orang
dan lembaga yang tengah berjuang memerangi
kemiskinan di berbagai negara.
Grameen Bank memang menabrak sistem dan
prinsip bank konvensional, yakni semakin kaya
seseorang, pemberian kredit akan semakin besar.
Tapi Grameen Bank justru memberikan kredit
kepada orang miskin, yang sebagian besar tidak
berpenghasilan tetap.
Pembayaran pinjaman dilakukan secara kolektif
oleh orang yang ditunjuk Grameen Bank. Uang
yang terkumpul dari nasabah dibawa oleh
pengumpul (collector) ke kantor perwakilan
Grameen Bank. "Tak bisa dicari kalau dia
melarikan uang itu," katanya. Tapi faktanya, kasus
pelarian dana milik nasabah dan bank tidak
pernah terjadi.
Grameen Bank merupakan bank skala nasional
dengan perputaran uang tunai sampai jutaan
dolar setiap hari. "Faktanya, tidak ada korupsi,"
katanya. Keberadaan institusi seperti Grameen
Bank yang dijalankan tanpa korupsi membentuk
harapan bagi masyarakat. "Jika satu institusi bisa
dibangun bebas korupsi dan dijalankan tanpa
korupsi, kita bisa membuat institusi lainnya bebas
korupsi," kata Yunus.
Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Rabu lalu
menyatakan konsep penyaluran kredit Grameen
Bank mirip kredit candak kulak di Indonesia.
"Sudah ada sejak dulu meski akhirnya candak
kulak berhenti," katanya.
Indonesia, kata Kalla, mampu menerapkan
konsep Yunus tersebut. Namun dengan
karakteristik masyarakat dan tingkat kemiskinan di
Indonesia yang lebih rendah dibanding
Bangladesh, konsep Grameen Bank
membutuhkan upaya keras dan pencapaian yang
relatif lebih lama. "Jangan lupa, Indonesia dan
Bangladesh itu berbeda," ujarnya.
Pendapat Kalla tentunya bisa diperdebatkan.
Karena sesungguhnya justru kepadatan
penduduk Indonesia jauh lebih rendah dibanding
Bangladesh, yang merupakan salah satu negara
terpadat di dunia.
Pakar ekonomi, Dr, Muhammad Syafii Antonio
MSc, mengatakan, “Grameen tidak hanya terbatas
pada pemberian kredit, tetapi juga pada nilai-nilai
dimensi sosial. Demikian juga konsep tanggung-
renteng yang meminimalisasikan adanya
jaminan. Tetapi itu tidak kita akomodasi. BMT kita
lebih cenderung seperti praktik perbankan,
mendekati Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS).”
Antara teori dan realitas
Muhammad Yunus lahir dan besar di
Chittangong, kota pelabuhan teramai di
Bangladesh. Ayahnya seorang muslim yang taat,
pengrajin perhiasan. Ibunya seorang yang
berdisiplin tinggi. Selepas kuliah di Fakultas
Ekonomi Universitas Chittagong – salah satu
universitas yang disegani di anak benua India,
Yunus menjadi dosen di almamaternya. Tahun
1965 dia mendapat beasiswa fullbright di AS
untuk studi Ekonomi Pembangunan sampai
mendapat gelar PhD.
Masa-masa ia menuntut ilmu disana adalah
masa-masa politik yang panas di negrinya,
perang Pakistan– Bangladesh. Pada 16 Desember
1971, Bangladesh merdeka dengan banyak
korban jiwa, dan perekonomian hancur. Yunus
memutuskan pulang untuk ikut membangun
kembali negaranya.
Sepulangnya ke Bangladesh, ia menjadi dekan
Fakultas Ekonomi Universitas Chittagong.
Perjalanan dari rumah ke tempat mengajarnya
setiap hari, melewati desa Jobra, pemandangan
yang terlihat adalah lahan-lahan tandus dan
penduduk desa yang miskin. Tahun 1974
bencana kelaparan semakin meluas di
Bangladesh.
Ia bukan tipe akademisi yang hanya mengajar
dan bekerja di ruangan. Baginya teori-teori yang
diajarkan kepada mahasiswanya harus bisa
menjawab pemandangan lahan tandus,
kemiskinan dan kelaparan.
Usaha pertama yang ia lakukan adalah
mengajukan proposal menanam padi varietas
unggul serta memperbaiki sarana irigasi. Ia, rekan
dosen, dan mahasiswanya turun langsung ke
sawah sebagai relawan.
Tahun 1976 ia dan mahasiswanya mengunjungi
langsung rumah seorang perempuan miskin
pengrajin bambu di Jobra. Perempuan itu tidak
memiliki uang lebih dari 22 sen. Bambu
dipinjamnya dari perantara kemudian ia
mendapatkan sisa penjualan dikurangi harga
pinjaman yang jumlahnya sangat sedikit, hanya 2
sen. Pilihan lain bagi mereka adalah pinjam modal
ke rentenir yang akan lebih berat lagi
pengembaliannya. Yunus kemudian menugaskan
mahasiswanya mengumpulkan data pengrajin
sejenis. Ada 42 orang, dengan keseluruhan
anggaran sebesar 27$.
Yunus terkesima, karena penderitaan orang-
orang itu hanya karena uang 27$. Menurutnya,
pengrajin-pengrajin itu bukanlah orang yang
bodoh atau malas. Mereka miskin karena tidak
ada bantuan kredit kaum miskin dari lembaga
finansial formal, dan telah diambil-alih oleh
rentenir. Yunus memulai kredit mikronya dengan
memberikan pinjaman 27$ tersebut dari
kantongnya sendiri.
Hari-hari berikutnya ia menemui manager salah
satu bank pemerintah terbesar di negri itu. Ia
mengemukakan maksudnya agar bank tersebut
meminjamkan uang kepada pengrajin-pengrajin
miskin. Bagi si manager, hal itu hanya ide konyol.
Pinjaman dalam jumlah kecil bahkan tidak
mampu menutup biaya dokumen pinjaman.
Mereka berdebat. Bagi Yunus, sistim perbankan
yang mengharuskan deposan mengisi berbagai
macam dokumen bagi rakyat Bangladesh yang
saat itu 75% masih buta huruf adalah hal yang
tidak adil.
Si manager tidak bisa memberi keputusan. Yunus
kemudian menemui manager yang lebih tinggi.
Debat yang sama terulang lagi, tapi akhirnya si
manajer refional berjanji akan mengajukan
permintaan Yunus ke Pusat. Bank akan
memberikan pinjaman $300 dengan Yunus
sebagai penjaminnya.
Perlu waktu enam bulan sampai proposal
akhirnya disetujui. Hasilnya cukup mengejutkan,
pembayaran kembali pinjaman tanpa agunan ini
jauh lebih baik ketimbang mereka yang
pinjamannya dijamin oleh asset. Inilah awal
Grameen Bank .
Saat itu Yunus buta menjalankan Bank. Ia belajar
sambil jalan, dan bersama para mahasiswanya
mengembangkan pinjaman melalui kelompok-
kelompok peminjam.
Setelah 20 tahun lebih, Grameen telah menjadi
lembaga yang sangat mandiri. Para peminjam
Grameen menguasai 93 persen total ekuitas bank,
hanya 7 persen dimiliki pemerintah. Jumlah
peminjam mencapai 2,6 juta orang, yang 95
persennya adalah perempuan. Kredit yang
dikucurkan sejak berdiri mencapai 3,9 miliar $,
dan sebesar 3,6 miliar $ telah dibayar kembali
dengan tingkat pengembalian sebesar 98%.
Grameen Bank bukan saja telah berhasil
meningkatkan kesejahteraan para peminjamnya,
tapi lebih dari itu, mengembalikan kemandirian
rakyat. Meraka yang sangat miskin kini dapat
mengakses pendidikan, rumah dan sarana
sanitasi.
Sejak 1995 Grameen memutuskan untuk tidak
lagi meminta pendanaan donor. Cicilan terakhir
pendanaan donor dibayarkan tahun 1998.
Perjalanan sukses Grameen Bank bukan tanpa
rintangan. Faktor budaya, misalnya. Maka Yunus
yang menerjunkan mahasiswinya
mewawancarai perempuan-perempuan miskin
desa melarang para mahasiswinya berpakaian
mencolok ketika terjun kedesa.
Tak mudah memberikan kepercayaan kepada
perempuan ketika adat setempat masih
membatasi ruang gerak mereka. Grameen juga
banyak ditentang oleh tokoh agama setempat
karena dicurigai sebagai organisasi misionaris.
Yunus sering mengkritik badan-badan bantuan
internasional di Bangladesh. Bank Dunia bahkan
yang paling sering mendapat kritiknya. Bertahun-
tahun Bank Dunia dan Grameen Bank berseteru
dan adu pendapat. Perseteruan terbuka terjadi
pada saat teleconference Hari Pangan Dunia 1986.
Barber Conable, Presiden Bank Dunia menyatakan
bahwa Bank Dunia memberikan dukungan
keuangan kepada Grameen Bank. Yunus
membantah dengan mengatakan bahwa
Grameen Bank tidak pernah menginginkan atau
menerima pendanaan Bank Dunia karena kami
tidak suka dengan cara mereka berbisnis. Baginya
cara kerja lembaga donor multilateral terhadap
kaum miskin sangat salah arah.
Hal itu ia kemukakan berdasarkan pengalaman
pribadinya ketika diminta membuat program
serupa Grameen Bank di Filipina. Program yang
didanai badan PBB itu mengirim staff ahlinya
untuk meneliti proposal Yunus. Namun akibat
ruwetnya birokrasi, proposal molor selama
hampir 5 tahun dan akhirnya dibatalkan. Padahal
biaya ribuan dollar yang dikeluarkan untuk gaji
professional selama itu sudah bisa membantu
ratusan keluarga miskin yang menjadi sasaran
program tersebut.
Yunus memandang akar kemiskinan lain dari
pandangan umum selama ini. Banyak yang
menganggap orang menjadi miskin karena tidak
terampil. Pemerintah, ornop dan konsultan-
konsultan internasional biasanya membuat
program pengentasan kemiskinan dengan
memberikan pelatihan. Bagi Yunus hal itu tidak
tepat. Orang miskin terbukti memiliki
kemampuan bertahan hidup, jadi tidak perlu
diberi pelatihan ketrampilan terlebih dahulu.
Orang menjadi miskin karena tidak bisa
menyisihkan hasil yang didapat dari kerja mereka.
Yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah
memberikan kredit.
Yunus membeberkan segudang kritik terhadap
Bank Dunia maupun lembaga-lembaga donor
Internasional.
Bangladesh dan Kemiskinan
Bangladesh adalah negara miskin di Asia Selatan
yang mendapatkan kemerdekaannya dari
Pakistan pada 1971. Bangladesh yang
berpenduduk 147 juta orang merupakan salah
satu negara terpadat di dunia.
GNP Bangladesh pada tahun 2004 kurang dari
USD440. Separuh penduduknya hidup kurang
dari USD1 per hari. Sebagian besar penerimaan
mata uang asing berasal dari pengiriman uang
para ekspatriat yang tinggal di negara lain.
Kiprah Yunus memberdayakan kaum miskin
dilatarbelakangi kemiskinan dan kelaparan yang
melanda Bangladesh pada 1974. Sebagai profesor
ekonomi, dia memimpin para mahasiswa
berkunjung ke desa-desa miskin di Bangladesh.
Yunus mulai mengembangkan program kredit
mikro tanpa agunan untuk kaum miskin yang
tidak dapat mengakses pinjaman bank.
Program ini menjadi semacam gugatan Yunus
terhadap ketidakadilan yang dilakukan bank
terhadap kaum miskin. Menurut Yunus, kesalahan
terbesar yang dilakukan bank-bank selama ini
adalah bahwa mereka hanya meminjamkan uang
kepada orang yang sudah punya uang.
Sejak 1976, Yunus mentransformasi lembaga
kreditnya menjadi bank formal dengan aturan
khusus bernama Grameen Bank atau bank desa
dalam bahasa Bengali.
Yunus merintis sistem kredit mikro yang
memberi pinjaman lunak kepada orang miskin
agar dapat mengembangkan usaha. Kredit mikro
ini diberikan kepada orang miskin yang tidak
mendapat pinjaman dari bank komersial.
Grameen Bank memfokuskan pinjaman pada
perempuan. Ada dua misi dari aksi afirmatif ini.
Pertama, pemberdayaan perempuan dengan
meningkatkan posisi tawar mereka, baik di ruang
privat maupun publik. Kedua, peningkatan
kualitas hidup anak.
Riset membuktikan, peningkatan ekonomi
perempuan berbanding lurus dengan tingkat
pendidikan dan kesehatan anak. Pemberdayaan
ekonomi perempuan, misalnya, berhubungan
langsung dengan turunnya angka kematian bayi
dan malnutrisi. Ini turut memastikan generasi
berikut tetap bertahan di atas angka kemiskinan.
Untuk menjamin pembayaran dari para
nasabahnya, Grameen Bank menggunakan
sistem yang dinamakan grup solidaritas. Grup-
grup kecil ini bersama-sama mengajukan
pinjaman, di dalamnya terdapat anggota yang
bertindak sebagai penjamin pembayaran.
Pinjaman ini mirip dana bergulir, di mana ketika
satu anggota telah berhasil mengembalikan
pinjaman, dana akan digunakan anggota lainnya.
Grameen Bank juga pernah meluncurkan
program yang dinamakan The Struggling Beggar
Members Program, yang membidik para
pengemis di Bangladesh.
Ini merupakan inisiatif yang diambil Grameen
Bank untuk kampanye berkelanjutan pengentasan
kemiskinan. Kini Grameen Bank telah memiliki
2.226 cabang di 71.371desa serta 18.795 orang
pegawai.
Grameen Bank juga telah meminjamkan sekitar
USD3 miliar. Total kredit yang telah dikucurkan,
sebesar 98,85 persen kembali dan uniknya
seluruh kredit dikucurkan dalam bentuk pinjaman
tanpa agunan.
Kini modal bank ini 94 persen dimiliki nasabah,
yakni kaum miskin, dan sisanya pemerintah.
Grameen Bank menyalurkan kredit senilai puluhan
juta dolar AS per bulan kepada 6,6 juta warga
miskin yang menjadi peminjamnya. Sejak berdiri,
Grameen Bank sudah mengucurkan senilai 5,72
miliar dolar AS.
Bagaimana Grameen Bank memulai
usahanya?
Grameen Bank memulai usaha pada tahun 1976,
sebagai sebuah proyek percontohan yang
dijalankan Muhammad Yunus saat ia merupakan
seorang pengajar ekonomi pedesaan di
Chittagong University, Bangladesh tenggara.
Si peminjam mengambil dana untuk
memungkinkan mereka membeli sesuatu, yang
kemudian membuat mereka bisa menjadi pekerja
untuk usaha sendiri. Pinjaman bisa dipakai untuk
membeli becak, ayam, dan peralatan atau
seperangkat alat-alat mesin sederhana.
Grameen Bank juga memberi pinjaman untuk
250.730 peminjam dan boleh memakai dana itu
untuk membeli telepon genggam. Hal ini
membuat marak dan munculnya fenomena gadis
telepon village phone lady. Itu menunjukkan
fenomena si pemilik telepon (umumnya wanita)
meminjamkan telepon ke warga desa lainnya
untuk menghubungi atau dihubungi anggota
keluarga di kejauhan.
Si pemilik telepon mendapatkan imbalan berupa
komisi dari si pengguna. Mereka membawa jasa
telepon genggam ke banyak desa untuk pertama
kali. Langkah mereka itu mendapatkan manfaat
besar bagi warga di pedesaan. Si petani,
misalnya, bisa mengetahui harga jual tanaman
pertaniannya jika di jual di pasar lokal.
Setelah beberapa proyek percontohan dilakukan
di berbagai desa dekat Universitas Chittagong
antara tahun 1976 dan 1979, proyek itu kemudian
berkembang ke wilayah lain. Grameen Bank
sendiri mengucurkan pinjaman ke sekitar 6,61
juta warga, sekitar 97 persen adalah wanita.
Target bank itu adalah wanita karena percaya
bahwa wanita membuktikan diri sangat hati-hati
mengalokasikan uang di dalam keluarga.
Sistem yang dipelopori Yunus itu telah ditiru di 40
negara lain.
(dd.abadi/Cokk)
Catatan: Grameen Bank, bank bagi si miskin

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 UPK Mandiri Kec. Susukan. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan